Bahaya Syirik

Hakikat dan Bahaya Syirik

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:
1. Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat
syari’at dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama
2. Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau
kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui bahwa hal itu tidak sampai
mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:
1. Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya
(an-Nisaa’: 48)
2. Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)
3. Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi
sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23)
4. Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka
beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar
dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”.
Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan
bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka
beliau menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh, aku bersumpah dengan nama
Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada bersumpah dengan selain nama Allah meskipun
jujur.” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalau sikap seperti itu yang
diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap terhadap syirik akbar
yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka?” (lihat Fath al-Majid, hal. 402).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan
oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak
ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah
disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka
bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah
ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat
baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang
artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di
dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan.” (QS. alFurqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka
amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima
jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah: [1] Seorang lelaki yang berjuang mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun
bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk
mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui
mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar
disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [2] Seorang lelaki yang
menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia
dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya,
sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu
lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan
mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai
orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah
kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api
neraka. [3] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmatnikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia
menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak
padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan
sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Khawatir Terjerumus Dalam Syirik
Sebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah ta’ala
berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya),
“Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di
dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa
aman [terbebas] dari musibah [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun alMuwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam
bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman
dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orangorang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali
orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat
al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-‘Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam;
orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian
sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau pula yang telah
menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap
bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau
yang bisa merasa aman dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang
semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk
syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang.
Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik
itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa
inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa
tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada
selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau
riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab
itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat
Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Perusak Tauhid dan Keikhlasan
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali
terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya
menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu
termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub
merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang
yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka
na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka
nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari
riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan
terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara
yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan
sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya
tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Amal yang salih
adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari
Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang
sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga
daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)
Syirik Kezaliman Terbesar
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu
yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap
melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus:
106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di
dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami
dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus
rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan
timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah
tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid
merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang
Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu
merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak
kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena
sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah
ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa
dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu
dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud-
berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah, semoga
bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam

Hikmah dan Kedudukan Tauhid

Hakikat dan Kedudukan Tauhid


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Hikmah Penciptaan Insan
Allah ta’ala berfirman,
َ“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Faidah Ayat:
1. Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk satu tujuan saja; yaitu untuk
beribadah kepada Allah (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/32-33])
2. Tafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu, “Supaya Aku perintahkan mereka untuk beribadah.” Hal ini
diperkuat oleh ayat lainnya (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali
untuk beribadah kepada ilah/sesembahan yang satu saja.” (QS. At-Taubah: 31) (lihat
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/507])
3. Hakikat ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah yang disampaikan
melalui lisan para rasul. Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/137])
4. Ibadah juga bisa diartikan dengan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik
berupa ucapan maupun perbuatan; yang tersembunyi [batin] maupun yang tampak
[lahir] (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/137])
5. Ayat ini menunjukkan wajibnya mengkhususkan ibadah kepada al-Khaliq yaitu Allah
ta’ala; sebab Allah lah yang memulai penciptaan manusia dan mencurahkan segala
macam nikmat kepada mereka. Oleh sebab itu hanya Allah yang layak untuk
diibadahi, bukan selain-Nya (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/140]). Oleh sebab itu para
ulama salaf menafsirkan perintah beribadah di atas dengan ‘supaya mereka
mentauhidkan-Ku’. Landasan pemahaman ini adalah bahwasanya para rasul diutus
dengan tujuan mendakwahkan tauhid ini -yaitu tauhid ibadah- (lihat at-Tam-hid li
Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 11 dan Ma’alim at-Tanzil, hal. 1236)
6. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa setiap jenis atau bentuk ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya (lihat at-Tam-hid li Syarh
Kitab at-Tauhid, hal. 13)
7. Ibadah yang benar adalah yang memadukan dua unsur pokok; puncak kecintaan dan
puncak perendahan diri. Sehingga cinta yang tidak dibarengi dengan [puncak]
perendahan diri tidak disebut ibadah. Demikian pula halnya jika perendahan diri yang
tidak dibarengi dengan [puncak] kecintaan; pada dasarnya hal itu pun tidak disebut
sebagai ibadah (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 3)
8. Ayat di atas juga menunjukkan wajibnya bertauhid, dan bahwasanya hakikat tauhid
itu adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah; sebab itulah hikmah penciptaan jin
dan manusia (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 9-10)
9. Beribadah kepada Allah dengan benar dan sempurna tidak bisa terlaksana kecuali dengan bekal ma’rifatullah [pengenalan terhadap Allah] (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/181]). Oleh sebab itulah sebagian ulama salaf -yaitu Mujahid- menafsirkan ‘supaya
mereka beribadah kepada-Ku’ di dalam ayat di atas dengan ‘supaya mereka mengenal/ma’rifat kepada-Ku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal.1236)
Misi Utama Dakwah Para Nabi dan Rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 834)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik- tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” “Maka setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selainNya.” (QS. Al-A’raaf: 59).
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -‘alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied alHilali hafizhahullah, hal. 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran
agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepadaNya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk
mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan
pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:
1. Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan
kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya
3. Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima sesampainyamereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan  surga dan yang paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya dan Allah
pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 16-17)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah lah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula. Turunlah perintah-Nya di antara itu semua. Supaya kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan bahwasanya ilmu Allah
meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12).
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu tatkala seorang hamba menyibukkan diri untuk memahami nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya maka itu adalah sebuah kesibukan dalam rangka mewujudkan hikmah penciptaan hamba itu sendiri. Dengan dia meninggalkan dan melalaikan hal itu, maka itu berarti dia telah melalaikan hikmah penciptaan dirinya. Tidak sepantasnya bagi seorang hamba yang telah mendapatkan karunia Allah yang sangat besar dan nikmat Allah pun terus-menerus tercurah
kepadanya lantas dia justru bodoh tentang Rabbnya dan berpaling dari mengenal-Nya…” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 25)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb
jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Oleh sebab itu sudah semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu dan para da’i untuk
memperhatikan masalah ini dengan baik dan menjadikan dakwah tauhid serta pengingkaran
terhadap syirik dan menepis syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah mereka. Inilah
yang harus dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Sebab
segala masalah lebih ringan dibanding syirik. Selama syirik masih merajalela, bagaimana
mungkin anda justru mengingkari masalah-masalah yang lain! Kita harus memulai dengan
pengingkaran terhadap syirik terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari
keyakinan-keyakinan jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti
yang jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga ajaran Islam yang
hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa berjuang sesuai dengan
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di mana pun dan kapan pun. Wajib bagi para
da’i untuk tidak melalaikan masalah ini yang akan menyebabkan mereka justru lebih
memperhatikan masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap perjuangan dan usaha
mereka untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup mata dari realita umat
manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan kepada tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah
akal sehat manusia. Ini adalah perkara yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang
tidak mengarah kepada pelarangan dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat,
dakwah yang tidak baik, atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil (lihat Syarh Kitab
Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422 H)
Perintah Yang Paling Agung
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan: Janganlah kalian beribadah
kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (QS.
Al-Israa’: 23)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah
tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu
mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada.
Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid
itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun
perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang
hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia
maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari
tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah
buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid
menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama.
Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu
(tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah
agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau
berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka
syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah
dakwah kepada tauhid (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 67 oleh Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz alu Syaikh). Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa
ilaha illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka- akan tetapi karena ucapan mereka
tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka,
sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid
sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun alMuwahhidin, hal. 36 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
Diantara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits di atas adalah wajibnya
menerima hadits ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam hadits ini Mu’adz diutus ke
Yaman seorang diri. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadits ini
menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib (lihat Ibthal at-Tandid bi
Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 42 oleh Syaikh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran
diterimanya khabar/hadits ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata, “Di
dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir
kepada tauhid sebelum memerangi mereka, dan tidaklah mereka dihukumi sebagai muslim
kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat Syarh Muslim [2/48])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang
lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau
tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau
menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah
diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah
kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan
ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke
sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling
utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan
bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap
orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain
kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kunci Keselamatan
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan
Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang
Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa
barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah
seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang
dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah
(terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa
masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu
lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah
yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak
boleh dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk
(dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan
mereka adalah kekal di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah
ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di
dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid
itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak
masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang diberikanNya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka
adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maka tidak ada seorang pun yang meninggal di
atas tauhid dihukum kekal di dalam neraka, meskipun dia melakukan kemaksiatan seperti
apapun juga, sebagaimana pula tidak akan pernah masuk surga orang yang mati di atas
kekafiran meskipun dulunya dia banyak melakukan berbagai amal kebaikan.” (lihat Syarh
Muslim [2/74])
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an
adalah orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi
makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak
bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, ‘Wahai
Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.’.” (HR. Muslim)
Demikianlah yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan bisa
memberikan manfaat bagi penyusunnya maupun bagi segenap pembaca dan umat Islam
yang sampai kepada mereka tulisan ini. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala
alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
9 Syawwal 1434 H. Ari Wahyudi -ghafarallahu lahu wa li waalidaihi wa li jami’il muslimin

Syahadat

Makna Kalimat Syahadat

Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang sangat ringan diucapkan dengan lisan namun
memiliki bobot yang sangat agung. Karena pada hakikatnya ia merupakan intisari ajaran
Islam. Akan tetapi tentu saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa
konsekuensi yang harus dijalankan (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid oleh Syaikh Dr. Shalih
bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)
Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa
mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab,
“Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi
dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat alIkhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah laa ilaha illallah adalah
kunci surga?”. Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki
gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu
maka dibukakanlah [surga] untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.”
(lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)
Dalil al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan)
-yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula] para malaikat serta orang-orang yang berilmu,
demi tegaknya keadilan. Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung
penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung
persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari
semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat
Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. al-Maktab al-Islami)
Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan, menerangkan,
memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya
bukanlah ilah/sesembahan [yang benar] dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selainNya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu [ilahiyah pada selain Allah]
adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk
disembah kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada selain-Nya.
Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan
larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya (lihat at-Tafsir alQayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah [sesembahan]
yang benar, adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah
adalah batil; yaitu patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah maka itu adalah [sesembahan yang] batil; karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun madharat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/449])

 

Dalil as-Sunnah


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau
berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka
syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling
utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan
bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap
orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain
kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini
merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan,
semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari
syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang
merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun,
tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia
mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab
at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Makna dan Konsekuensi Laa Ilaha Illallah
Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan
hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla.
Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud
[beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat
pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga
makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa
tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan
ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat
Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu
beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa
memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat
yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan
selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi
dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa
cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas
dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan
makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyah-
maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat
bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada
selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah
Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)
Dengan demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari
segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang
disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan
Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)
Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak mengingkari
sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang salih [yang
sudah mati] maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah.
Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak
boleh hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh
Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 12)
Tidak Cukup Di Lisan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja
tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa
jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu
yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak
bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya).
Kalimat laa ilaha illallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada keyakinan dan pelaksanaan
terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang
munafik (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di dalam kerak
paling bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi
mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apabila datang kepadamu orang-orang munafik
seraya mengatakan: Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Allah
mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang
munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan
keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas]
mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan
keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwsanya aku -Muhammad- adalah utusan
Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini
tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan laa ilaha illallah di
dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
− Mengucapkannya
− Mengetahui maknanya
− Meyakini kandungannya
− Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya; yaitu beribadah kepada Allah saja dan
meninggalkan sesembahan selain-Nya
− Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang
menyimpang dan menentangnya (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 11 dan 16)
Siapa pun yang melakukan perkara yang membatalkan keislaman maka sesungguhnya dia
telah membatalkan syahadatnya. Karena syahadat ini hanya akan berguna baginya apabila
dia beramal dengannya dan istiqomah di atasnya. Dia beribadah kepada Allah saja dan
meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Dia juga taat kepada perintah dan larangan
Allah. Selain itu, dia tidak melakukan perkara yang membatalkan syahadatnya, baik berupa
ucapan, perbuatan, atau keyakinan. Apabila seorang telah melakukan perkara yang
membatalkan syahadatnya, maka tidak ada artinya ucapan syahadat itu meskipun dia
ucapkan seribu kali, bahkan walaupun dia menunaikan sholat, puasa, zakat dan haji (lihat
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Bin Baz rahimahullah [4/20] yang
disusun oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir)
Sbatalkan, meniadakan atau
menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa
merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka,
sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang
menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan
-kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam- atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang
menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang merekiapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan maka dia

harus siap menanggung resiko hukuman dari Allah, meskipun dia telah mengucapkan
kalimat tauhid dan meyakini kandungannya. Dan apabila dia melakukan suatu perkara yang
membatalkan keislamannya maka dia berubah status menjadi murtad dan kafir, sehingga
ucapan syahadat itu tidak lagi bermanfaat baginya. Oleh sebab itu kalimat tauhid ini harus
direalisasikan di dalam kenyataan dan dijalankan konsekuensinya. Kalau tidak demikian
maka orang tersebut berada dalam ancaman bahaya yang sangat besar jika tidak bertaubat
dari kesalahannya, meskipun dia adalah pemilik tauhid. Allahul musta’aan (lihat Syarh Kitab
at-Tauhid oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 26)
Jadikan Tauhid Sebagai Prioritas Utama
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan
perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib.
Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya
merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang mema hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka…

Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar
oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini,
apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran dan amanah niscaya
dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak
kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah semata
dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi maupun para wali yang
notabene adalah hamba-hamba Allah [bukan sesembahan, pent] maka orang-orang pun
bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun
menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya.
Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid
muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan
hadits, ‘..Apabila kamu minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian
orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah haditsnya Wahabi’!…” (lihat Da’watu asy-Syaikh
Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)
Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan
obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah.
Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab
dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan
jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent]
(lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan
turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang
ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang
paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid].
Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi
sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam
mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid
menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama.
Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu
(tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah
agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Demikian sedikit keterangan seputar makna kalimat syahadat yang bisa kami himpun
dengan taufik dari Allah. Semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Mencintai Tanpa Syarat

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Pengantar Sederhana Buku Segenggam Iman Anak Kita

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Kepada-Nya kita kita memuji dengan pujian yang sempurna. Tiada tuhanselain Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya Dia yang layak untuk dipuji dan disembah dengan sepenuh penghambaan. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan dan menyandarkan harapan.

Shalawat dan salam semoga tak habis-habis kita lantunkan untuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu‘alaihi wa ‘alaa `alihi wa shahbihi wa sallam. Tiada kecintaan kepada Allah‘Azza wa Jalla kecuali dengan mentaati utusan-Nya, Muhammad Al-Amin yang menjadi penutup para nabi. Inilah risalah terakhir yang harus kita pegangi.Tidak ada yang lebih berharga untuk kita wariskan kepada anak-anak kita melebihi segenggam iman yang kita harapkan dengan sepenuh kesungguhan agar tumbuh berakar menguat dalam jiwa mereka.

Akan tetapi….

Tak seperti harta yang dengan sendirinya diwarisi, harus ada perjuangan agar iman itu tumbuh, berkembang, mengakar dan menguat dalam jiwa anak-anak kita sehingga mereka bersedia meneteskan keringat untuk menyemainya. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka tak berpaling. Dan ini bukan soal kecerdasan. Betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan luas, fasih berbicara bahasa Arab, tapi iman itu tak bersemayam dalam dirinya. Betapa banyak orang yang mengetahui dan bahkan memahami nash dengan sangat matang,tapi ia justru menjadi penentangnya yang paling lantang. Betapa banyak orang yang memiliki banyak hafalan, tapi sikap beragamanya justru plin-plan. Na’udzubillahi min dzaalik. Inilah pertanyaan besar yang perlu kita renungi senantiasa agar segenggam iman dalam jiwa anak kita tak terlepas dan berganti dengan keingkaran.

Telah berlalu dari zaman kita ini orang-orang yang cemerlang pengetahuannya, disegani kepakarannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan dihormati kepemimpinannya. Dan mereka justru meraih itu semua bermula dari keimanannya yang sangat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Iman itu menggerakkan mereka untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, termasuk belajar mendalami berbagi cabang pengetahuan. Mereka menjadi pribadi yang kuat karena mereka tidak menyandarkan harapan kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Tak sibuk meratapi masa lalu karena khawatir menjadi pintu masuknya setan untuk melemahkan jiwa dan imannya.

Ada yang perlu kita renungkan di sini. Jika iman benar-benar tumbuh, maka kesungguhan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya adalah buah yang manis untuk dipetik. Ini sekaligus menandakan bahwa jika kesungguhan itu tidak hadir, ada yang perlu diperiksa atas iman mereka. Adakah mereka telah benar-benar beriman ataukah hanya memiliki banyak pengetahuan tentang iman. Sangat berbeda mengimani dengan memiliki pengetahuan tentang iman. Seorang yang beriman sudah sepatutnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengilmui apa yang ia imani. Tetapi sekedar memiliki banyak pengetahuan tentang iman tak serta merta menjadikan diri beriman.

Nah, inilah yang perlu kita renungkan seraya mengingat bahwa sepeninggal kita nanti, di luar shadaqah jariyah dan ilmu yang manfaat, tak adalagi yang dapat kita harapkan manfaatnya selain anak-anak shalih yang mendo’akan. Artinya, pertama-pertama mereka harus menjadi pribadi yang shalih dulu, lalu bersebab keshalihannya mereka mendo’akan kita. Bisa saja anak mendo’akan kita setiap hari meskipun mereka tidak shalih. Tetapi apa manfaat yang dapat kita harap jika mereka mengerjakan apa-apa yang menjadi penghalang terkabulnya do’a? Maka, atas do’a anak-anak kita, yang pertama kali kita perlu risaukan adalah iman mereka; keshalihan mereka.

Jika anak-anak menjadi pribadi yang shalih bersebab upaya kita, apakah dengan mengajarkan agama ini secara langsung kepada mereka ataukah mengantarkan mereka meraih keshalihan melalui didikan guru-guru terbaik, maka atas setiap kebaikan yang mereka perbuat ada pahala yang mengalir untuk kita. Jadi, keshalihan itu pun telah berlimpah manfaatnya meskipun mereka belum mendo’akan kita. Apatah lagi jika mereka tak putus-putus berdo’a memohon kasih-sayang Allah ‘Azza wa Jalla bagi kita.

Tetapi apakah yang menjadikan mereka senantiasa berkeinginan untuk mendo’akan kita? Apakah yang membuat mereka senantiasa mengingat kita? Kedekatan emosi. Jika anak-anak itu tak pernah memiliki rasa rindu kepada kita, bagaimana kita berharap mereka akan senantiasa menyebut-nyebut nama kita dalam do’a mereka sesudah kita tiada? Saat hidup saja tak dirindukan. Apalagi jika nyawa telah tercabut dari badan. Masalahnya, sudahkah kita menyemai rasa rindu di hati anak-anak kita? Sudahkah kita memanfaatkan saat-saat berharga untuk anak kita dengan membersamai mereka dan hadir dalam kehidupan mereka secara bermakna? Inilah yang agaknya perlu kita periksa lebih dalam: saat berharga untuk anak kita. Apa maknanya bagi anak?

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk mengembangkan potensi mereka? Sangat perlu. Hanya saja kita perlu mengingat bahwa itu semua seharusnya untuk menjadikan anak-anak kita semakin ringan hatinya menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Kita perlu mencerdaskan anak dan melejitkan potensi mereka.

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk melejitkan kecerdasan mereka? Sangat perlu. Tapi cerdas saja tidak cukup. Demikian pula cara untuk mengantarkan anak-anak meraih kecemerlangan tersebut amat perlu kita perhatikan. Jangan sampai ambisi kita menjadikan anak “tampak istimewa” justru menjadi sebab rapuhnya jiwa dan lemahnya iman bersebab kita mengejar yang instant, melupakan yang fundamental.

Lalainya kita dari memperhatikan hal-hal yang fundamental justru dapat menjatuhkan kita pada kesalahan yang berkepanjangan, penyesalan tak berkesudahan atau kesia-siaan yang besar, padahal kita telah berpayah-payah melakukannya. Atau justru karena tak mau berpayah-payah, kita mengabaikan yang berharga sekaligus amat bermanfaat untuk anak. Inginnya anak jenius, tetapi cara instant yang kita tempuh ternyata tak memberi manfaat apa-apa. Musik Mozart salah satu contohnya. Banyak orang mempercayai mitos bahwa memperdengarkan musik Mozart kepada bayi akan menjadikannya jenius. Padahal tak ada riset yang mendukung. Yang ada justru membantah anggapan itu. Sudah ratusan ribu keeping CD Mozart terjual, sembari melupakan bahwa pada waktu kecil Mozart tak pernah mendengar musik Mozart, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun jenius yang terlahir darinya.

Sama halnya dengan bakat. Banyak yang berlebihan menilai bakat seolah ia menjadi penentu keberhasilan, seakan bakat dengan sendirinya menjadikan seseorang unggul. Orangtua sibuk mencari tahu bakat anak, tapi lupa melapangkan hati untuk mencintai tanpa syarat, meluangkan waktu untuknya dan menempanya agar memiliki kesungguhan serta tujuan hidup yang jelas. Kita lupa bagaimana para orangtua yang tak mengenal bakat dapat mengantarkan anak meraih kecemerlangan, bersebab penerimaan mereka apa adanya dan kesungguhannya mendidik anak. Di luar itu ada satu pertanyaan serius, bagaimana bakat itu melekat pada diri seseorang? Muncul dengan sendirinya?

Ada paradoks. Kita semakin banyak belajar tentang cara kerja otak, tapi di saat yang sama justru semakin enggan berpikir. Kita enggan menelaah, sehingga tak tahu mana yang ilmiah mana yang pseudo-ilmiah. Seakan ilmiah, padahal bukan.

Catatan ringan di buku ini ingin mengajak Anda semua untuk senantiasa menakar kembali langkah kita mengasuh anak, adakah ia menguatkan segenggam iman anak kita ataukah justru sebaliknya; iman tak semakin kokoh, sementara kecemerlangan yang kita harap pun tak teraih.

Kepada Allah Ta’ala saya memohon hidayah dan inayah-Nya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan bagi diri kita, keluarga kita dan keturunan kita seluruhnya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon kebaikan dan kebahagiaan bagi kita, keluarga dan keturunan kita seluruhnya. Selebihnya, ingatkanlah saya dan berikanlah nasehat yang tulus. Apa yang benar pasti dari Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apa yang salah sepenuhnya merupakan kejahilan dan kelalaian saya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Di Tengah Terik Matahari Kota Blitar, 22 Mei 2013
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh,
Mohammad Fauzil Adhim

Kejujuran Imam asy-Syafi rahimahullah yang Luar Biasa.

Imam asy-Syafi rahimahullah sebelum berangkat belajar ke Madinah belajar kepada Imam Malik rahimahullah, beliau berkata Ibu nya : “Wahai ibu, berilah saya nasehat.!”

Ibunya berkata : “Wahai anak ku, berjanjilah kepada ku untuk tidak berdusta.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Saya berjanji kepada Allah lalu kepada mu untuk tidak berdusta.”

Beliau waktu usia nya masih kecil, dibekali oleh ibu nya uang 400 dirham.

Beliau menaiki hewan tunggangan nya dan keluar bersama rombongan menuju Madinah, Imam asy-Syafi menyimpan uang itu didalam sebuah kantong yang ia jahit disela – sela bajunya.

Ditengah – tengah perjalanan ada rampok yang merampas seluruh harta rombongan tersebut, tatkala sampai dihadapan Imam asy-Syafi’i yang masih kecil, para perampok itu bertanya : “Apakah kamu membawa uang?”

Imam asy-Syafi’i yang masih kecil ini menjawab : “IYA”

Perampok : “Berapa?”

Asy-Syafi’i : “Saya membawa uang 400 dirham.”

Para perampok tersebut tertawa sambil mengejek beliau dan berkata : “Pergilah, apakah kamu hendak mengolok – olok kami?” Pergilah sana. Apakah orang seperti mu membawa uang sebanyak empat ratus dirham?” (kata para perampok dengan tidak percaya).

Kemudian asy-Syafi’i berhenti disamping rombongan kafilah yang dirampok. para pemimpin rampok berkata kepada anak buah nya : “Apakah kalian telah mengambil semuanya?”

Mereka menjawab : “Ya”

Pemimpin rampok : “Apakah kalian tidak meninggalkan seorang pun?”

Mereka (anak buah) menjawab : “Tidak, kecuali seorang anak kecil yang mengaku telah membawa uang sebanyak 400 dirham, namun anak tersebut gila atau hanya ingin mengolok – olok kita, sehingga kami pun menyuruhnya pergi.”

Pemimpin rampok berkata : “Bawa anak itu kemari.”

Mereka pun membawa Syafi’i kecil. Kemudian pemimpin rampok itu bertanya kepada beliau : “Apakah kamu membawa uang, wahai anak kecil?”

Syafi’i kecil menjawab : “Ya”

Pemimpin Rampok berkata : “Berapa uang yang kamu bawa?”

Syafi’i kecil “Empat ratus dirham.”

Pemimpin perampok itu bertanya lagi, “Dimana uang itu?”

Lalu Syafi’i kecil mengeluarkan uang tersebut dari balik pakian nya dan menyerahkan nya kepada pemimpin kawanan perampok tersebut.

Pemimpin rampok itu menuangkan uang – uang tersebut kepangkuan nya, lalu ia memandangi syafi’i kecil dengan keheranan dan berkata : “Kenapa kamu jujur kepada ku ketika aku tadi bertanya kepada mu, dan kamu tidak berdusta kepadaku, padahal kamu tahu bahwa uang mu akan hilang?”

Syafi’i pun menjawab : “Saya jujur kepada mu karena saya telah berjanji kepada ibu ku untuk tidak berdusta kepada siapa pun.”

Mendengar penuturan Syafi’i kecil itu, tiba – tiba tangan pemimpin rampok itu berhenti memain – mainkan uang 400 dirham tersebut, karena hatinya telah bergetar karena hidayah dari Allah.

Lalu pemimpin rampok itu berkata sambil mengembalikan uang tersebut kepada Syafi’i kecil : “Ambillah uang mu, kamu takut untuk mengkhianati janji mu kepada ibu mu, sedangkan aku tidak takut berkhianat kepada janji Allah Subhanhu wa ta’ala? Pergilah, wahai anak kecil dalam keadaan aman dan tenang, karena aku telah bertaubat kepada Zat yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang melalui kedua tangan mu dengan taubat ini dan aku tidak akan pernah mendurhakai-Nya lagi selamanya.”

Kemudian pemimpin kawanan perampok itu memandang anak buahnya dan berkata :

إنّ الله يامركم أن تؤدّوا الأمانات إلى أهلها
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerima nya…” [An-Nisa ayat 58]

Lalu anak buahnya berkata sambil membawa harta dan berbagai perhiasan rombongan kafilah yang mereka rampok tadi dan mengembalikan nya, dan mereka berkata kepada pemimpin mereka “Wahai tuan kami, anda telah bertaubat dengan Zat Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang, sedangkan anda adalah pemimpin kami. Oleh karena itu kami lebih pantas untuk bertaubat daripada anda.”

Akhirnya mereka semua bertaubat kepada Allah, lewat kejujuran Imam asy-Syafi’i kecil. [Diringkas dan disadur dari buku Biografi Imam Syafi’i hal 17-20, Abdul Aziz asy-Syinawi. Judul aslinya Al-Aimmah Al-Arba’ah Hayatuhum Mawaqifuhum Ara’ahum Qadhiyusy Syariah al-Imam asy-Syafi’i]

Meneladani Ulama Dalam Menjaga Waktu

Hasan al-Bashri berkata, “Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa orang, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham.” (Syarhus Sunnah, juz: 14).

Hammam bin al-Haris berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan sedikit tidur dan anugerahkan kepadaku bangun malam dalam ketaatan.” (Sifatus Shafwah, 3:22). Mungkin doa yang dipanjatkan Hammam ini tidak pernah terpikirkan di benak kita, bagaimana seseorang bisa terpikir berdoa kepada Allah agar dicukupi dengan sedikit tidur demi memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Kita lebih sering meminta agar tidur kita pulas dan nyenyak dan tidak jarang tertinggal shalat subuh di masjid.

Ibnu Aqil al-Hanbali mengisahkan perjalanannya menuntut ilmu dan fokus terhadap apa yang ia cita-citakan sehingga ia menjadi seorang ulama yang terpandang. Beliau mengatakan, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, tatkala lisanku telah membaca dan berdiskusi, mataku lelah membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat dan berbaring. Sehingga aku berdiri dalam keadaan ide-ide yang banyak dalam benakku lalu, aku tuangkan ide tersebut dalam tulisan. Aku dapati kesungguhanku dalam belajar lebih kuat saat aku berusia 80 tahun dibanding waktu aku berumur 20 tahun.” (al-Muntadzim fi Tarikhil Umam, juz: 9).

Amir bin Abdul Qais rahimahullah melewati orang-orang pemalas dan senang menganggur. Mereka duduk berbincang-bincang tanpa arah, lalu menyapa Amir dengan mengatakan, “Kemarilah, duduklah bersama kami.” Amir menjawab, “Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru saya akan bergabung duduk-duduk dan berkelakar bersama kalian.” (Shaidul Khatir).

Terkadang untuk mengisi waktu agar lebih bermanfaat, para ulama melakukan hal-hal yang tidak lazim, yang mungkin kita pandang aneh, namun hakikatnya adalah untuk menyempurnakan usia mereka agar lebih berkah dan bermanfaat setiap detiknya. Sebagian di antara ulama salaf mewasiatkan kepada teman-temannya, “Apabila kalian pulang dari tempatku ini, maka berpencarlah (jangan berjalan bersama-sama). Karena kalian bisa memanfaatkannya untuk membaca Alquran (dengan hafalan kalian ed.). apabila jalan bersama-sama, pasti kalian akan ngobrol.” (Shaidul Khatir).

membaca alquran Meneladani Ulama Dalam Menjaga WaktuNafi’, pembantu Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ditanya, “Apa yang dilakukan Abdullah bin Umar di rumah bersama keluarganya?” Dia menjawab, “Berwudhu setiap (waktu) shalat dan di antaranya adalah mushaf.” (Zadul Muslim, juz:3). Mungkin ada yang bertanya, “Apakah Abdullah bin Umar tidak berkomunikasi dengan keluarganya, apakah beliau tidak membantu keluarga dan mencari nafkah?” Kita berprasangka baik, tentu orang seperti beliau memenuhi hak anak dan istrinya, namun di waktu-waktu sela, ia selalu membaca Alquran untuk memanfaatkan detik-detik usianya sehingga Nafi’ menilai beliau dengan kebiasaannya tersebut.

Para ulama salaf juga mengisi waktu mereka dengan ilmu dan amal bahkan ketika hendak meninggal dunia. Ibrahim bin al-Jarrah berkata, “Imam Abu Yusuf al-qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan, “Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?” Saya menjawab, “Dalam kondisi seperti ini?” Dia mengatakan, “Tidak mengapa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan masalah ini.” Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar kabar bahwa beliau telah wafat.

Demikianlah para salafush shaleh, mereka memohon kepada Allah agar usia mereka penuh keberkahan dan membuktikannya dengan usaha yang serius agar waktu mereka adalah waktu yang bermanfaat. Mereka benar-benar fokus terhadap apa yang mereka cita-citakan dan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkannya. Mereka juga memikirkan kepentingan orang lain dalam waktu-waktu sempit mereka. Semoga Allah merahamti mereka semua dan member taufik kepada kita untuk mencontoh mereka.

……………………………………………
http://kisahmuslim.com/meneladani-ulama-dalam-menjaga-waktu/