Janji…
Di alam ruh sana, kita sudah berjanji bersyahadah hanya Rabb yang berhak disembah dan diibadahi. Hal ini kuperoleh saat masih ngaji mula dan kuajarkan pula pada adik-adik waktu halaqah tentang materi syahadatain. Agar manusia yang mempunyai fitrah mengakui tauhid rubbubiyah, mengakui adanya sang Rabb, memiliki naluriah untuk menyembah sang Pencipta, tidak menafikkan dan menduakan Rabbnya (tidak mengakui tauhid uluhiyah). Tentu saja itu dipertanggungjawabkan dan ditanya di hari penghisaban nanti.
Manusia primitive saja mempunyai naluri menyembah Rabbnya (meskipun dengan cara yang salah) dengan menyembah pepohonan, bebatuan , benda mati lain atau makhluk. Fitrah setiap makhluk akan menyembah sang Pencipta, bahkan seluruh semesta, kecuali yang menafikkannya karena tertutupi nafsunya.
Janji pada Allah sebagai ilah yang patut disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, syahadatain sebagai pintu dan kunci memperoleh cahaya dan tentu saja tiket, syarat utama menuju syurga.
Janji, salah satu tanda kemunafikan seseorang jika tak menepati janji, berkata ia dusta, dipercaya pun ia khianat.
Dua tahun lalu aku telah berjanji, akhir tahun 2010. Berbai’at…ini bukan yang pertama kali, 2006 janji memasuki tandzim tahap mula, dan 2007 memasuki tandzim tahap muda. Di tahap muda inilah dijahrkan, sudah ditampakkan tentang kepartaian.
Pada 6 Novmber 2010, hal yang sangat mendebarkan. Tubuh bergemuruh, gemetar, hanya bisa diam. Dengan bahasa arab yang aku tak mengerti artinya dan aku pun terbata-bata kuikuti lantunan dan berikrar. Sudah tampaklah jelas sebuah system yang sebelumnya aku sebenarnya sudah tahu tapi hanya masih meraba-raba saja, tandzim IM.
Entah mengapa aku termasuk yang mereka pilih, apa istimewaku? Pertanyaan berkecamuk, bahkan hingga sampai saat ini. Kata mereka ini adalah rezeki, belum tentu antum yang disatukan berintima’ dalam barisan adalah yang terbaik, tetapi ini adalah rezeki antunna.
Loyalitas, yaaa, memang saat halaqah aku termasuk anak yang diam tawadhu mendengarkan segal doktrin dan taujih yang diberikan. Di tahap tandzim pun aku menjadi sosok yang bersegera, ruhul istijabah dalam amanah serta patuh dan tunduk segala perintah, menjadi batu bata yang siap diposisikan di mana saja, entah menjadi posisi bawahan ataupun atas. Akan tetapi, sepertinya murrobi pun tak tahu sebenarnya tentang fikrohku karena aku cenderung banyak diam dan tunduk. Aku pun tak merasa dekat dengan murrobi-murrobiku, aku belum merasakan peran mereka sebagai orang tua ataupun menjadi guruku. Aku tahu lebih banyak pun dari jalan membaca. Murrobi pun jarang berdiskusi denganku. Dan dengan mudahnya mereka merekrutku menjadi bagian jama’ah IM.
Tapi tahukah diamku bukan berarti menerima sepenuhnya, tetapi diamku sedang menelaah dan menganalisa. Karena sumber wawasan dan keyakinanku pun tidak hanya sekadar dari satu sumber saja. Selama perintah, tak berbenturan dengan keyakinan, aku pun patuh saja. Namun kadang-kadang tiba-tiba jiwa membuncah, gelisah ingin lepas…karena serasa mengambang terombang-ambing di tengah lautan tak jua melihat daratan. Ingin ada kapal yang menyelamatkan dan menepi ke pelabuhan.
……………………………….
Jurangbelimbing, 3 Desember 2012