Hakikat dan Kedudukan Tauhid
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Hikmah Penciptaan Insan
Allah ta’ala berfirman,
َ“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Faidah Ayat:
1. Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk satu tujuan saja; yaitu untuk
beribadah kepada Allah (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/32-33])
2. Tafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu, “Supaya Aku perintahkan mereka untuk beribadah.” Hal ini
diperkuat oleh ayat lainnya (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali
untuk beribadah kepada ilah/sesembahan yang satu saja.” (QS. At-Taubah: 31) (lihat
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/507])
3. Hakikat ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah yang disampaikan
melalui lisan para rasul. Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/137])
4. Ibadah juga bisa diartikan dengan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik
berupa ucapan maupun perbuatan; yang tersembunyi [batin] maupun yang tampak
[lahir] (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/137])
5. Ayat ini menunjukkan wajibnya mengkhususkan ibadah kepada al-Khaliq yaitu Allah
ta’ala; sebab Allah lah yang memulai penciptaan manusia dan mencurahkan segala
macam nikmat kepada mereka. Oleh sebab itu hanya Allah yang layak untuk
diibadahi, bukan selain-Nya (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/140]). Oleh sebab itu para
ulama salaf menafsirkan perintah beribadah di atas dengan ‘supaya mereka
mentauhidkan-Ku’. Landasan pemahaman ini adalah bahwasanya para rasul diutus
dengan tujuan mendakwahkan tauhid ini -yaitu tauhid ibadah- (lihat at-Tam-hid li
Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 11 dan Ma’alim at-Tanzil, hal. 1236)
6. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa setiap jenis atau bentuk ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya (lihat at-Tam-hid li Syarh
Kitab at-Tauhid, hal. 13)
7. Ibadah yang benar adalah yang memadukan dua unsur pokok; puncak kecintaan dan
puncak perendahan diri. Sehingga cinta yang tidak dibarengi dengan [puncak]
perendahan diri tidak disebut ibadah. Demikian pula halnya jika perendahan diri yang
tidak dibarengi dengan [puncak] kecintaan; pada dasarnya hal itu pun tidak disebut
sebagai ibadah (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 3)
8. Ayat di atas juga menunjukkan wajibnya bertauhid, dan bahwasanya hakikat tauhid
itu adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah; sebab itulah hikmah penciptaan jin
dan manusia (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 9-10)
9. Beribadah kepada Allah dengan benar dan sempurna tidak bisa terlaksana kecuali dengan bekal ma’rifatullah [pengenalan terhadap Allah] (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/181]). Oleh sebab itulah sebagian ulama salaf -yaitu Mujahid- menafsirkan ‘supaya
mereka beribadah kepada-Ku’ di dalam ayat di atas dengan ‘supaya mereka mengenal/ma’rifat kepada-Ku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal.1236)
Misi Utama Dakwah Para Nabi dan Rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 834)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik- tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” “Maka setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selainNya.” (QS. Al-A’raaf: 59).
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -‘alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied alHilali hafizhahullah, hal. 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran
agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepadaNya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk
mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan
pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:
1. Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan
kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya
3. Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima sesampainyamereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya dan Allah
pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 16-17)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah lah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula. Turunlah perintah-Nya di antara itu semua. Supaya kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan bahwasanya ilmu Allah
meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12).
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu tatkala seorang hamba menyibukkan diri untuk memahami nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya maka itu adalah sebuah kesibukan dalam rangka mewujudkan hikmah penciptaan hamba itu sendiri. Dengan dia meninggalkan dan melalaikan hal itu, maka itu berarti dia telah melalaikan hikmah penciptaan dirinya. Tidak sepantasnya bagi seorang hamba yang telah mendapatkan karunia Allah yang sangat besar dan nikmat Allah pun terus-menerus tercurah
kepadanya lantas dia justru bodoh tentang Rabbnya dan berpaling dari mengenal-Nya…” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 25)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb
jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Oleh sebab itu sudah semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu dan para da’i untuk
memperhatikan masalah ini dengan baik dan menjadikan dakwah tauhid serta pengingkaran
terhadap syirik dan menepis syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah mereka. Inilah
yang harus dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Sebab
segala masalah lebih ringan dibanding syirik. Selama syirik masih merajalela, bagaimana
mungkin anda justru mengingkari masalah-masalah yang lain! Kita harus memulai dengan
pengingkaran terhadap syirik terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari
keyakinan-keyakinan jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti
yang jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga ajaran Islam yang
hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa berjuang sesuai dengan
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di mana pun dan kapan pun. Wajib bagi para
da’i untuk tidak melalaikan masalah ini yang akan menyebabkan mereka justru lebih
memperhatikan masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap perjuangan dan usaha
mereka untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup mata dari realita umat
manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan kepada tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah
akal sehat manusia. Ini adalah perkara yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang
tidak mengarah kepada pelarangan dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat,
dakwah yang tidak baik, atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil (lihat Syarh Kitab
Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422 H)
Perintah Yang Paling Agung
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan: Janganlah kalian beribadah
kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (QS.
Al-Israa’: 23)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah
tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu
mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada.
Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid
itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun
perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang
hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia
maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari
tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah
buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid
menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama.
Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu
(tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah
agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau
berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka
syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah
dakwah kepada tauhid (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 67 oleh Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz alu Syaikh). Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa
ilaha illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka- akan tetapi karena ucapan mereka
tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka,
sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid
sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun alMuwahhidin, hal. 36 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
Diantara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits di atas adalah wajibnya
menerima hadits ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam hadits ini Mu’adz diutus ke
Yaman seorang diri. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadits ini
menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib (lihat Ibthal at-Tandid bi
Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 42 oleh Syaikh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran
diterimanya khabar/hadits ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata, “Di
dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir
kepada tauhid sebelum memerangi mereka, dan tidaklah mereka dihukumi sebagai muslim
kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat Syarh Muslim [2/48])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang
lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau
tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau
menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah
diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah
kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan
ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke
sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling
utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan
bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap
orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain
kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kunci Keselamatan
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan
Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang
Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa
barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah
seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang
dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah
(terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa
masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu
lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah
yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak
boleh dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk
(dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan
mereka adalah kekal di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah
ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di
dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid
itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak
masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang diberikanNya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka
adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maka tidak ada seorang pun yang meninggal di
atas tauhid dihukum kekal di dalam neraka, meskipun dia melakukan kemaksiatan seperti
apapun juga, sebagaimana pula tidak akan pernah masuk surga orang yang mati di atas
kekafiran meskipun dulunya dia banyak melakukan berbagai amal kebaikan.” (lihat Syarh
Muslim [2/74])
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an
adalah orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi
makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak
bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, ‘Wahai
Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.’.” (HR. Muslim)
Demikianlah yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan bisa
memberikan manfaat bagi penyusunnya maupun bagi segenap pembaca dan umat Islam
yang sampai kepada mereka tulisan ini. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala
alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
9 Syawwal 1434 H. Ari Wahyudi -ghafarallahu lahu wa li waalidaihi wa li jami’il muslimin