Bahaya Syirik

Hakikat dan Bahaya Syirik

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:
1. Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat
syari’at dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama
2. Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau
kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui bahwa hal itu tidak sampai
mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:
1. Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya
(an-Nisaa’: 48)
2. Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)
3. Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi
sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23)
4. Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka
beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar
dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”.
Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan
bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka
beliau menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh, aku bersumpah dengan nama
Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada bersumpah dengan selain nama Allah meskipun
jujur.” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalau sikap seperti itu yang
diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap terhadap syirik akbar
yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka?” (lihat Fath al-Majid, hal. 402).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan
oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak
ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah
disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka
bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah
ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat
baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang
artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di
dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan.” (QS. alFurqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka
amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima
jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah: [1] Seorang lelaki yang berjuang mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun
bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk
mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui
mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar
disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [2] Seorang lelaki yang
menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia
dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya,
sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu
lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan
mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai
orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah
kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api
neraka. [3] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmatnikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia
menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak
padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan
sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Khawatir Terjerumus Dalam Syirik
Sebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah ta’ala
berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya),
“Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di
dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa
aman [terbebas] dari musibah [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun alMuwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam
bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman
dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orangorang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali
orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat
al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-‘Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam;
orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian
sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau pula yang telah
menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap
bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau
yang bisa merasa aman dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang
semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk
syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang.
Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik
itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa
inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa
tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada
selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau
riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab
itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat
Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Perusak Tauhid dan Keikhlasan
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali
terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya
menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu
termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub
merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang
yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka
na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka
nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari
riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan
terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara
yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan
sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya
tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Amal yang salih
adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari
Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang
sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga
daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)
Syirik Kezaliman Terbesar
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu
yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap
melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus:
106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di
dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami
dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus
rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan
timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah
tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid
merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang
Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu
merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak
kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena
sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah
ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa
dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu
dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud-
berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah, semoga
bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam

Tinggalkan komentar